Lihat taman do’a dan gua Maria
pada gambar di bawah? Tempat ini menawarkan kedamaian dan ketenangan berdoa
untuk pengunjung maupun peziarah. Lokasinya berdempetan dengan batas timur
wilayah Kota Kupang, tepatnya di kelurahan Lasiana. Di sebelahnya sudah masuk
wilayah pedesaan.
Wujud
gua ini tampak lumayan unik. Berbentuk hati, atau lebih tepatnya
jantung Bunda Maria yang ditembusi pedang. Di sekelilingnya ada taman
bunga dengan titik titik perhentian jalan salib sepanjang sekitar empat
ratus meter ke arah utara.
Tertarik mengunjungi? Boleh jadi. Tapi jika keberadaan serta wujud visual lokasi ini memantik kekaguman anda, jangan lupa bahwa ini adalah hasil karya dari sejumlah saudara kita, termasuk mereka yang bukan Kristen.
Tertarik mengunjungi? Boleh jadi. Tapi jika keberadaan serta wujud visual lokasi ini memantik kekaguman anda, jangan lupa bahwa ini adalah hasil karya dari sejumlah saudara kita, termasuk mereka yang bukan Kristen.
Eh, kok?
Hehe jangan pikir
macam-macam dulu. Maksud saya, taman doa di lokasi ini ternyata
dikerjakan pula oleh para tukang yang Muslim. Saya tahu pasti, karena
saya termasuk salah satu yang bekerja sebagai buruh di tempat ini
sekitar September tahun 2010 lalu. Mengisi waktu liburan menjadi pekerja
kasar memang banyak dilakukan oleh mahasiswa rantau di kota ini.
Saat awal melamar, saya tidak banyak kenal tukang maupun buruh yang
telah duluan bekerja. Tetapi pernah suatu ketika, oleh Si Boss saya
dimasukan dalam satu grup kerja bersama tiga orang tukang asal Jawa.
Mereka telah kami kenal baik dengan hasil kerja yang rapi, dan pekerjaan
sulit semacam membuat bangunan gua Maria tadi adalah bagian dari tugas
mereka. Dan saya tahu kalau mereka Muslim pas pertama kali bergabung di
satu grup. Areal ini memang luas dan mengharuskan pengelompokkan pekerja
di lokasi terpisah. Nah, pas jelang siang, saya yang warga setempat di
grup itu ditanyai letak mushola terdekat.
Lingkungan sekitar tempat
kerja memang cukup saya kenal, dan saya jawab saja bahwa tidak ada
mushola yang letaknya kurang dari tiga kilometer. Hanya ada satu di
kampus Politeknik, tapi itu untuk mahasiswa.
“Oh, tak apa” jawab si
Mas, lalu memanfaatkan tenda istirahat sebagai mushola darurat. Setiap
hari pas waktu sholat, mereka diberi kesempatan istirahat oleh Si Boss.
Itu di luar waktu istirahat wajib antara jam dua belas dan pukul satu.
Saudara-saudara ini bagi saya tampak lebih tekun dari tipikal pekerja
NTT kita. Pekerjaan mereka pun jadinya rapi dan lebih cepat selesai.
Mereka juga tidak menutup diri dengan interaksi bersama penduduk
sekitar. Meski mereka tinggal di tenda dan saya sendiri punya kamar kost
yang lumayan jauh, sempat saya amati bahwa di petang hari setelah
selesai kerja, mereka membaur dengan penduduk di tempat mangkal biasa.
Warung kopi milik ina-ina setempat di tepi jalan. Cerita-cerita sambil
ngopi untuk menghilangkan kepenatan setelah seharian kerja. Sehabis
kerja, biasanya sekitar jam 4, kami juga kadang duduk bersama menonton
para seminaris yang olahraga sore di lapangan mini.
Yah. Ini cerita
semasa kuliah yang telah lama berlalu. Tapi semoga contoh kebersamaan
ini jangan pernah berlalu. (Simpet Soge, 10 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar