Kalender Liturgi

Selasa, 06 Mei 2014

Ikut Membangun Kediaman Sang Bunda


Lihat taman do’a dan gua Maria pada gambar di bawah? Tempat ini menawarkan kedamaian dan ketenangan berdoa untuk pengunjung maupun peziarah. Lokasinya berdempetan dengan batas timur wilayah Kota Kupang, tepatnya di kelurahan Lasiana. Di sebelahnya sudah masuk wilayah pedesaan.




Wujud gua ini tampak lumayan unik. Berbentuk hati, atau lebih tepatnya jantung Bunda Maria yang ditembusi pedang. Di sekelilingnya ada taman bunga dengan titik titik perhentian jalan salib sepanjang sekitar empat ratus meter ke arah utara.
Tertarik mengunjungi? Boleh jadi. Tapi jika keberadaan serta wujud visual lokasi ini memantik kekaguman anda, jangan lupa bahwa ini adalah hasil karya dari sejumlah saudara kita, termasuk mereka yang bukan Kristen.
Eh, kok?
Hehe jangan pikir macam-macam dulu. Maksud saya, taman doa di lokasi ini ternyata dikerjakan pula oleh para tukang yang Muslim. Saya tahu pasti, karena saya termasuk salah satu yang bekerja sebagai buruh di tempat ini sekitar September tahun 2010 lalu. Mengisi waktu liburan menjadi pekerja kasar memang banyak dilakukan oleh mahasiswa rantau di kota ini.
Saat awal melamar, saya tidak banyak kenal tukang maupun buruh yang telah duluan bekerja. Tetapi pernah suatu ketika, oleh Si Boss saya dimasukan dalam satu grup kerja bersama tiga orang tukang asal Jawa. Mereka telah kami kenal baik dengan hasil kerja yang rapi, dan pekerjaan sulit semacam membuat bangunan gua Maria tadi adalah bagian dari tugas mereka. Dan saya tahu kalau mereka Muslim pas pertama kali bergabung di satu grup. Areal ini memang luas dan mengharuskan pengelompokkan pekerja di lokasi terpisah. Nah, pas jelang siang, saya yang warga setempat di grup itu ditanyai letak mushola terdekat.
Lingkungan sekitar tempat kerja memang cukup saya kenal, dan saya jawab saja bahwa tidak ada mushola yang letaknya kurang dari tiga kilometer. Hanya ada satu di kampus Politeknik, tapi itu untuk mahasiswa.
“Oh, tak apa” jawab si Mas, lalu memanfaatkan tenda istirahat sebagai mushola darurat. Setiap hari pas waktu sholat, mereka diberi kesempatan istirahat oleh Si Boss. Itu di luar waktu istirahat wajib antara jam dua belas dan pukul satu.
Saudara-saudara ini bagi saya tampak lebih tekun dari tipikal pekerja NTT kita. Pekerjaan mereka pun jadinya rapi dan lebih cepat selesai. Mereka juga tidak menutup diri dengan interaksi bersama penduduk sekitar. Meski mereka tinggal di tenda dan saya sendiri punya kamar kost yang lumayan jauh, sempat saya amati bahwa di petang hari setelah selesai kerja, mereka membaur dengan penduduk di tempat mangkal biasa. Warung kopi milik ina-ina setempat di tepi jalan. Cerita-cerita sambil ngopi untuk menghilangkan kepenatan setelah seharian kerja. Sehabis kerja, biasanya sekitar jam 4, kami juga kadang duduk bersama menonton para seminaris yang olahraga sore di lapangan mini.
Yah. Ini cerita semasa kuliah yang telah lama berlalu. Tapi semoga contoh kebersamaan ini jangan pernah berlalu. (Simpet Soge, 10 September 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar