![]() |
Gambar: http://mpchristianity.com |
Dalam dua puluh empat jam ini, tampaknya saya mengalami
dua peristiwa serupa. Sore kemarin di kampung, pertemuan evaluasi kegiatan
anak-anak muda tampak tidak dimulai dengan doa. Langsung saya interupsi dan
suruh berdoa dulu. Di pertemuan paroki pagi berikutnya, kelompok OMK tampak mengawali
dan akan mengakhiri rapat tanpa doa. Juga saya protes dan kemudian diakhiri
pula dengan doa.
Eh, kenapa saya kok terobsesi sekali dengan yang namanya
doa?
Itu karena kebiasaan di lingkungan kerja. Sering saya
saksikan di kantor, para kru lapangan ketika akan berangkat kerja ‘perabasan’ alias
pembersihan di jaringan listrik, mereka memulai dulu dengan do’a. Di ruangan
‘meeting’ dalam keadaan berdiri, para petugas itu dikumpulkan. Peralatan mereka
bawa: parang, obeng, tang, dan lain-lain peralatan yang tidak dipahami awam.
Sementara itu, kendaraan yang menunggu di luar sedang dipanasi mesinnya.
Terlebih dahulu belasan pekerja ini dibriefing tentang
pekerjaan mereka oleh si Boss. Uang operasional alias petty cash diserahkan. Peringatan
tentang ‘jangan melakukan pungli’ pun
ditegaskan ulang. Saat akan berangkat dengan segenap bawaan mereka, eh sang
Boss masih mengajak untuk berdoa bersama.
Memang, sebuah aktivitas bersama seharusnya diawali
dengan doa. Ini bukan sesuatu yang tampaknya muluk-muluk seperti pelajaran SD yang
mendefinisikan doa sebagai ‘berbicara dengan Tuhan’. Bagi saya, berdoa sebelum
aktivitas bersama adalah komunikasi antar partisipan kegiatan tersebut, bahwa
kegiatan dilangsungkan dengan tujuan mulia. Bukan sekadar perwujudan ambisi
sementara dan fana, sefana orang-orang yang terlibat di dalamnya. (Simpet Soge,4/01/’14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar